[DRABBLE] Endings

/ Juni 19, 2014 /

f(x) Krystal/Exo Kai; 640 words; romance, fluffy



"Watch the sunset and tell me again 
how endings can't be so beautiful.."


“Menyedihkan sekali sendiri di sini,”

Pemuda itu bertelanjang dada–rambut dan tubuhnya masih basah dan ia berbau seperti garam laut. Tanpa bilang permisi ia duduk di sebelah Soojung yang melongo di bawah langit berwarna oranye dalam dan motif semburat-semburat kapas yang warnanya lebih tua. Kulitnya yang sedikit gelap memantulkan warna langit itu lagi; Soojung menahan nafas sepersekian detik (seperti ia menghitungnya tanpa sadar) karena ia ingin menancapkan pemuda itu Kota Firenze, menggantikan Patung David. Ombaknya berdebur dan menyentuh ujung jari-jari kaki Soojung. Indah. Cantik.

(walau dalam jutaan, bahkan miliaran tahun cahaya Soojung tidak akan mengatakan bahwa pemuda itu memabukkan di bawah matahari yang hampir tidur.)

Menyedihkan,” Soojung menyeringai. “Coba ceritakan lagi padaku menyedihkan itu apa.”

Lalu Soojung kira bocah itu akan terbahak keras, karena pertanyaan bodohnya, dan karena hanya orang bodoh yang menanyakan pertanyaan bodoh. Setelah meneguk satu tenggakan coke dari botolnya, pemuda itu mengangkat bahu.

“Seperti kau,” (tanpa menoleh.) “Seperti kau yang duduk disini tidak tahu apa. Seperti akhir film yang sedih–tidak berarti aku suka menonton film semacam itu.”

Soojung menggigit bibir, anak rambutnya terbang perlahan. “Apa akhir sedih itu selalu menyedihkan.. Kim Jongin?”


**)


Lalu besoknya Kim Jongin (yang berkeras dipanggil Kai–tapi hey! Namamu Kim Jongin! Begitu Soojung akan berteriak) duduk lagi di tempat yang sama menunggu matahari untuk tenggelam lagi setelah puas berenang di air; dan tubuhnya akan berbau seperti garam laut. Lagi. Soojung pura-pura menguap melihatnya datang.

“Kapan kembali ke Seoul?”

Soojung nyengir. “Takut merindukanku?”

(ia tidak bercerita sebagian dari dirinya ingin meninggalkan Seoul selamanya. Sebagian dari Seoul-nya ada di cottage–ponsel, laptop, dan jurnal jadwalnya.)

Mereka berdua tetap duduk disitu sampai paling tidak pukul sembilan malam. Soojung suka bercerita tentang pekerjaannya, pelatihnya, fansnya, pita suaranya, latihannya, dan gerai pizza favoritnya. Jongin suka bercerita tentang video game, papan surfing, kimchi pedas, pembersih lantai dan Soojung mengerutkan kening sepanjang waktu karena ia adalah pemuda yang acak.

Saat matahari benar-benar tenggelam, Jongin berubah dari pengamat makanan berlemak menjadi penasehat cinta. Bisa dihitung tangan hubungan yang berakhir seindah matahari terbenam, katanya.

(dramatisasi, batin Soojung.)

Tapi, setidaknya walau berlebihan, Soojung setuju. Lagipula alasan dasarnya ia berada di sini juga tidak jauh-jauh dari akhir yang pahit. Karena tidak semuanya berakhir baik, dan walaupun rasanya seperti sesak dan terbuang ke Planet Uranus, setidaknya ia percaya tidak ada hal yang permanen. Tidak juga rasa sakit. Sebagian dari Soojung sulit menerima ada bagian yang hancur baru satu minggu lalu dan sekarang bagian itu sudah sepenuhnya pulih. Begitu cepat. Lalu sebagian lagi dari dirinya menolak keras hal itu ada hubungannya dengan romansa musim panas, Kim Jongin.

“Tidak ingin kembali ke Seoul.”

Jongin menoleh kaget. Soojung menyeringai. Butir-butir pasir menempel di dahi dan pelipisnya, dan lengannya dan lebih banyak di telapak tangannya. Matanya membulat dan Soojung bertanya, mana yang lebih bulat daripada bulan tanggal limabelas.

“Gila, lalu siapa yang bayar kartu kredit dan tagihan apartemenmu? Malaikat lotere?”

Soojung cemberut.


**)


Sore itu Kim Jongin menolak duduk. Ia berdiri di ujung pertemuan antara ombak laut dan pasir putih kecoklatan. Rambutnya kecoklatan ditimpa matahari tenggelam.

“Salah satu hal yang berakhir dengan baik disini,” Jongin tersenyum. “Adalah hari.” Lalu ia menunjuk ke arah barat. Sulit bagi Soojung untuk tidak setuju padanya saat matahari yang sudah separuh tertelan warnanya kuning keemasan seperti inti telur ayam setengah matang. Gadis itu mengangguk-angguk.

(tidak ia ceritakan hari adalah satu hal yang berakhir buruk di Seoul–pub dengan musik berdentum-dentum dan sebagainya.)

“Tahu apa pemuda pantai seperti Kim Jongin.” Soojung mendesah pelan. Tertawa kecil.

Jung Soojung berdiri dan sedikit maju sehingga air pantai menyentuh kaki, telapak, dan jari-jarinya. Ia ngeri sendiri bagaimana matahari terbenam bisa menjadi akhir yang begitu bagus, berbagai arti di atas bagus. Indah.

“Kau tahu apa yang lebih indah?”

Soojung menoleh. “Apa?”

“Awalnya,” Jongin tersenyum simpul. “Besok, Jung Soojung, besok kita lihat awal hari di suatu tempat dan ayo buktikan sebuah awal tidak kalah bagus dengan sebuah akhir.”

-end-


0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright © 2010 I'm mostly tired., All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger